● online
- Diskon ❯ Semua buku didiskon mulai 10%
- Asli ❯ Kami menjual buku asli, dari penerbit. Tidak menjual buku bajakan, repro, kw atau ilegal lainnya
- Pengiriman ❯ Pengiriman ke seluruh Indonesia, pengiriman ke luar negeri sila WA kami
- Pembayaran ❯ Transfer Bank, Dompet Elektronik (Link Aja, Dana, Go Pay, OVO)
- Pengadaan ❯ Menerima pengadaan buku untuk perpustakaan
Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi
Rp 38.250 Rp 45.000Kode | 978-979-16776-2-2 |
Stok | Tersedia |
Kategori | Budaya |
Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi
Penulis : Bambang Rudito
Tebal : xx + 202 hlm
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Penerbit : Gading Publishing
Deskripsi:
Dalam konteks studi antropologi di Indonesia, kajian-kajian tentang kelompok suku bangsa minoritas tampaknya telah banyak ditinggalkan para peneliti kita. Sekarang banyak peneliti antropologi yang memusatkan penelitian kepada kajian masyarakat perkotaan dan kehidupan sosial pedesaan sebagai akibat dari dampak pembangunan Indonesia yang dianggap tidak adil dan merata. Dalam konteks ini kajian ini telah memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia antropologi Indonesia, khususnya kajian etnografi. Keunggulan utama dari tulisan ini adalah kajiannya yang mendalam tentang keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Mentawai, yang belum pernah diungkapkan sebelumnya oleh banyak antropolog kita.
Prof. Dr. Parsudi Suparlan (Guru Besar Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia)
Buku yang ditulis oleh saudara Bambang Rudito ini adalah buku yang berisi uraian yang sangat langka dan jarang diterbitkan pada masa sekarang. Banyak keunggulan dari buku ini yang penting sekali sehingga layak untuk diterbitkan dan dipublikasikan kepada khalayak banyak. Keunggulan utama dari tulisan ini adalah kajiannya yang mendalam tentang keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Mentawai, yang belum pernah diungkapkan sebelumnya oleh banyak antropolog kita. Buku ini menjadi nilai tambah yang penting dalam kajian etnografi di Indonesia.
Saat ini sangat jarang dilakukan kajian etnografi sukubangsa- sukubangsa minoritas secara mendalam. Dalam konteks studi antropologi di Indonesia, kajian-kajian tentang kelompok sukubangsa minoritas tampaknya telah banyak ditinggalkan para peneliti kita. Sekarang banyak peneliti antropologi kita yang memusatkan penelitian kepada kajian masyarakat perkotaan dan kehidupan sosial pedesaan sebagai akibat dari dampak pembangunan Indonesia yang dianggap tidak adil dan merata. Dalam konteks ini kajian ini telah memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia antropologi Indonesia, khususnya kajian etnografi.
Kajian tentang kelompok sukubangsa minoritas dalam konteks sekarang bukanlah penelitian yang sifatnya hanya memotret atau mendeskrispsikan unsur-unsur kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas, namun lebih kepada bagaimana menjelaskan dinamika kehidupan kelompok sukubangsa minoritas tersebut dalam konteks kehidupan sekarang. Indonesia adalah bangsa yang mempunyai bentuk masyarakat majemuk, sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sukubangsa yang berbeda, yang diikat oleh suatu aturan negara sebagai acuan utamanya dan mengarah pada bentuk masyarakat yang multikulur.
Sebagai masyarakat majemuk, Indonesia mempunyai pranata yang bersifat nasional, sukubangsa, dan pranata lokal. Pranata nasional berfungsi dalam kaitan dengan kebutuhan pelayanan administrasi publik yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan pranata sukubangsa ada dan berlaku dalam kehidupan kekerabatan dan keluarga. Pranata lokal ada dalam tatanan kehidupan masyarakat lokal setempat yang ada di tempat-tempat umum dimana ia berfungsi sebagai jembatan antar para warga yang mempunyai latar belakang sukubangsa yang berbeda. Pranata lokal ini berdasarkan kebudayaan lokal setempat, sebagai sistem acuan dalam berhubungan. Dalam konteks masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia juga mempunyai tiga bentuk kebudayaan yang menjadi acuan bagi warganya yaitu kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan lokal setempat. Dalam kajiannya mampu menunjukkan secara mendalam keterkaitan hubungan antara kebudayaan nasional dan pranata sosial, baik yang ada di tingkat nasional, sukubangsa, dan lokal dengan keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Mentawai.
Kelompok-kelompok sukubangsa minoritas telah banyak mengalami penderitaan sebagai akibat dominasi negara yang terlalu kuat terhadap semua sendi kehidupan mereka. Kebudayaan- kebudayaan yang berkembang sesuai dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh negara. Kebudayaan tersebut telah digantikan kebudayaan daerah dimana ia dapat dianggap sebagai suatu produk dari sistem nasional dan dibuat hanya demi kepentingan negara semata. Implikasi kuat dari proses penyeaagaman tersebut adalah penyeragaman kebudayaan sukubangsa untuk menjadi sama. Penyeragaman kebudayaan ini kemudian menyebabkan kebudayaan sukubangsa, termasuk di dalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli menjadi terbelakang dan tersudut.
Permasalahan utama yang dikemukan oleh saudara Bambang Rudito dalam kajiannnya adalah bagaimana sesungguhnya keyakinan keagamaan masyarakat Mentawai sangat berperan menjadi acuan menghadapi perubahan-perubahan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Kebudayaan Mentawai seperti dijelaskan, mengalami banyak tekanan dari dominasi negara dan kelompok-kelompok sukubangsa yang dominan. Setelah reformasi ada titik balik bagi mereka untuk berbuat lebih banyak buat kelompok sukubangsanya. Bagaimana sesunguhnya orang-orang Mentawai ingin berperan dalam pembangunan dan bermain dalam arena politik lokal, bagi saya menarik untuk diamati.
Agama secara mendasar dan umum menurut saya dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak terc akup dalam definisi tersebut. Namun dalam menginterpretasi dan memahami makna- makna yang terkandung dalam ajaran-ajaran di dalam teks suci, para pemeluk agama yang bersangkutan menggunakan kebudayaan mereka sebagai acuan. Sadar atau tidak sadar, hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan, yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil interpretasi mereka itu menjadi bagian dari sistem-sistem pengetahuan dan keyakinan, atau kebudayaan yang telah mereka punyai mengenai diri mereka dan dunia, atau lingkungan tempat mereka hidup, dan sadar atau tidak sadar hasil-hasil interpretasi mereka itu menjadi keyakinan keagamaan yang menjadi pedoman sakral atau suci dari kebudayaan, atau bagi kehidupan mereka. Dengan kata lain, hasil interpretasi mereka yang terwujud sebagai keyakinan keagamaan tersebut menjadi kebudayaan yang telah mereka punyai. Kita dapat mengatakan keyakinan keagamaan sebagai kebudayaan, pada waktu kebudayaan didefinisikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang berisikan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan, yang digunakan untuk menghadapi lingkungan dan segala isinya, untuk dapat dimanfaatkan oleh para pelakunya dalam memenuhi kebutuhan- kebutuhan hidupnya sebagai manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, pendukung suatu kebudayaan dapat saling memahami dengan menggunakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam dan melalui komunikasi yang berlaku dalam kehidupan sosial mereka. Sedangkan simbol-simbol suci atau sakral, digunakan dalam kehidupan keagamaan ketika manusia berhubungan dengan Tuhannya atau dunia gaib yang menjadi bagian dari kepercayaan imannya. Dalam kajiannya, saudara Bambang Rudito menunjukkan bahwa pranata sosial yang menyeluruh yang mengacu kepada keyakinan dan pandangan hidup akan sulit mengalami perubahan dan akan tetap dipakai sebagai acuan dalam menginterpretasikan lingkungannya meskipun lingkungannya mengalami perubahan. Hal ini digambarkan secara mendalam pada upacara bebeitei uma yang dilakukan oleh Orang Mentawai. Upacara bebeitei uma mempunyai fungsi yang sentral dalam kebudayaan Orang Mentawai. Fungsi upacara tersebut adalah mengingatkan kembali orang Mentawai akan aturan-aturan dan norma nenek moyangnya. Dengan konteks reformasi dan pembangunan jatidiri mereka setelah sekian lama didominasi oleh negara dan kelompok sukubangsa dominan lainnya, maka upaaara bebeitei uma mempunyai nilai yang sangat penting. Tidak hanya berfungsi secara religi tetapi juga mempunyai fungsi sosial politik, yaitu sebagai penegasan jatidiri. Bahkan menurut saudara Bambang Rudito, upacara bebeitei uma ini juga dilakukan oleh kelompok sukubangsa lainnya untuk bisa diterima oleh masyarakat Mentawai. Dalam konteks ini memang demikian seharusnya kajian etnografi yang baik, mampu menangkap dan memotret, serta menjelaskan makna-makna hubungan antara fenomena yang satu dengan yang lain secara holistik dan komprehensif.
Tulisan ini sangat berguna untuk diketahui bagaimana sebuah keyakinan dan pandangan hidup yang ada dalam kebudayaan suatu sukubangsa tertentu yang diwujudkan dalam sebuah upacara dipakai untuk menangkal dan beradaptasi dengan perkembangan kebudayaan dari luar lainnya, sehingga pendukung dari kebudayaan tertentu tersebut dapat hidup langgeng dalam arena kebudayaannya sendiri, dan dipakai sebagai sebuah sarana mewujudkan identitas kesukubangsaannya. Memang untuk mewujudkan tulisan ini perlu kesabaran yang berangkat dari sebuah penelitian yang mendalam dan partisipatif, dan penguasaan teori-teori serta konsep dan metodologi yang mendalam. Saudara Bambang Rudito telah menunjukkan kesemuanya itu, sehingga saya merasa bangga bahwa masih ada orang Indonesia yang berusaha untuk mengetahui secara mendalam dan sekaligus menjelaskannya dalam konteks kekinian tentang kebudayaan sukubangsa-sukubangsa di Indonesia.
Tags: budaya, gading publishing, mentawai
Bebetei Uma Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi
Berat | 250 gram |
Kondisi | Baru |
Dilihat | 2.218 kali |
Diskusi | Belum ada komentar |
Penulis : Yasraf Amir Piliang Tebal : 424 hlm Ukuran : 16 x 24 cm Penerbit : Cantrik Pustaka Deskripsi : Dunia yang berlari telah membawa umat manusia—dalam skala global—ke dalam sebuah ruang-waktu, kesadaran dan pengalaman baru, yang tak terbayangkan sebelumnya. Dunia yang berlari telah menciptakan sebuah “dunia kehidupan” (life world), yang tak terpikirkan sebelumnya…. selengkapnya
Rp 102.000 Rp 120.000Penulis : Suwardi Endraswara Tebal : 266 hlm Ukuran : 14,5 x 21 cm Penerbit : UGM Press Deskripsi : Ilmu-ilmu humaniora di Indonesia telah berkembang dengan subur, terutama di lingkungan perguruan tinggi dan di sejumlah LSM yang tertarik pada pusaran budaya. Kebudayaan yang telah berkembang menjadi beberapa cabang, menghendaki pengkajian dan penelitian yang lebih… selengkapnya
Rp 52.700 Rp 62.000Penulis : Dyah Kumalasari Tebal : x + 258 hlm Ukuran : 17 x 24 cm Penerbit : Suluh Media Deskripsi : Pendidikan karakter merupakan tema aktual yang banyak diangkat saat ini, mengingat berbagai permasalahan yang muncul terkait permasalahan krisis moral di berbagai kalangan. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan karakter sebenarnya bukanlah sebuah hal yang baru…. selengkapnya
Rp 110.330 Rp 129.800Penulis : M.A. Subandi (ed.) Tebal : xxiii + 588 hlm Ukuran : 16 x 24 cm Penerbit : Pustaka Pelajar Deskripsi : Buku ini dirancang untuk mewadahi berbagai titik pertemuan antara psikologi dan budaya. Dari sisi topik yang disajikan, buku ini memberikan keragaman pembahasan, mulai dari psikologi perkembangan, psikologi keluarga, psikologi sosial, psikologi klinis… selengkapnya
Rp 106.250 Rp 125.000Penulis : Nurlin Tebal : 282 hlm Ukuran : 16 x 24 cm Penerbit : Ombak Deskripsi : Ruang historis kembali dibuka dan diperbincangkan dalam pertemuan 17 tokoh adat tersebut untuk menemukan penegasan bahwa tanah tempat mereka berpijak ini adalah “rumah” bersama yang dimiliki secara komunal. Bahwa dalam konteks sejarah, Kulisusu dan Muna (kabupaten induk)… selengkapnya
Rp 85.000 Rp 100.000Penulis : Murdijati Gardjito, Umar Santoso, Nurullia Nur Utami Tebal : 196 hlm Ukuran : 15,5 x 23 cm Penerbit : UGM Press Deskripsi : Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kuliner yang unik ialah Aceh. Aceh dengan berbagai suku bangsa yang mendiaminya, di antaranya Aceh, Alas, Gayo, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, dan Tamiang memiliki ragam… selengkapnya
Rp 63.750 Rp 75.000Penulis : A. Daliman Tebal : 96 hlm Ukuran : 13 x 19 cm Penerbit : Ombak Deskripsi :
Rp 17.000 Rp 20.000Penulis : AB. Takko Bandung Tebal : 308 hlm Ukuran : 16 x 24 cm Penerbit : Ombak Deskripsi: Pada awalnya orang Bugis hanya menetap di tanah Bugis. Dari segi geografis tanah Bugis terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Mattulada (1998:24) memperkirakan bahwa pada awalnya suku Bugis tinggal di pesisir utara Teluk Bone yang… selengkapnya
Rp 76.500 Rp 90.000Penulis : Waleed El-Ansary, dkk. (Ed.) Tebal : 574 hlm Ukuran : 15,5 x 23 cm Penerbit : UGM Press Deskripsi : Inisiatif “Kata Bersama” (Kalimat Sawa’, Common Word) disuarakan oleh para intelektual dan ulama Islam terkemuka yang ditujukan kepada kalangan Kristiani, menyusul pidato-kontroversial Paus Benediktus XVI di Universitas Regensburg, Jerman, 12 September 2006. Isu utamanya adalah… selengkapnya
Rp 140.250 Rp 165.000Penulis : Ahmad Syafii Maarif Tebal : 354 hlm Ukuran : Penerbit : Ircisod Deskripsi : Apa yang terungkap dalam buku ini, setidaknya, menggambarkan bahwa meskipun kondisi bangsa ini hampir sempurna olengnya, tetap saja tersirat jelas harapan cerah untuk bangkit kembali membangun negeri yang terancam cerai-berai ini. Tentu dengan syarat, semua pihak harus bekerja dengan… selengkapnya
Rp 68.000 Rp 80.000
Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.